Metamorpholux | Theater Realismus

Di antara tanda kehidupan adalah adanya pertumbuhan dan perubahan, entah ke arah positif maupun negatif. Arah bukanlah hal pokok sebab itu menjadi pilihan, yang bahkan tidak harus dipilih. Namun, pertumbuhan dan perubahan tidak dapat ditolak, sebagaimana seorang bayi yang terus tumbuh, lalu mengalami perubahan lanskap, baik pikiran, sosial, budaya, politik, maupun spiritualitasnya. Lanskap-lanskap itu adalah lapisan-lapisan yang tak ada artinya jika tak ada pemaknaan, baik secara subjektif maupun objektif.

“Apa arti situasi tertentu bagi seseorang?” Jawabannya bisa sangat empiris, bisa pula kontekstual. Namun apakah seseorang harus menjawab pertanyaan itu? Misalnya sedang duduk sendirian, berada dalam keramaian, mengalami sebuah peristiwa, terkena musibah, apakah harus selalu dimaknai?

Situasi tertentu itu tak ubahnya seperti dinding yang polos. Tak akan menjadi apa-apa tanpa pemaknaan. Kita bisa saja membiarkannya demikian, yang artinya kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari situasi maupun dinding itu. Dengan pemaknaan, justru kita akan dapat menyingkap setiap lapisan yang tersembunyi dan pada akhirnya dapat membuat lompatan perubahan. Lompatan adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, gerak. Seseorang dari situasi tertentu akan bergerak atau tergerak untuk mencipta atas pemaknaan tersebut. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai metamorfosis. Tidak hanya mengalami perubahan bentuk, metamorfosis juga menuntut adanya gerakan yang dihasilkan dari pemaknaan. Makna ini seperti cahaya yang dapat memperlihatkan perubahan-perubahan apa yang ingin kita tampilkan pada dunia, dalam upaya berinteraksi dengan orang lain.

Pada situasi saat ini, saat pandemi nyaris berlalu, banyak situasi yang memaksa kita untuk berubah. Keseharian, ekonomi, hubungan sosial, kehidupan maya, situasi politik, budaya, dan lain sebagainya, mengalami perubahan akibat pandemi, atau setidaknya selama pandemi. Namun apakah kita akan membiarkannya pandemi pergi begitu saja bersamaan dengan berbagai keprihatinan yang mulai kita lupakan, diratapi, atau bahkan kita tertawakan? 

Apa pun sikap kita terhadap keprihatinan itu, dibutuhkan cahaya agar mampu menjadi penanda zaman, setidaknya selama periode kita hidup. Seperti pada traffic light, kita pernah berhenti karena lampu merah, melaju perlahan karena lampu kuning, dan melaju tanpa was-was karena beruntung mendapatkan lampu hijau. Atau justru kita pernah berbuat gila dengan menerobos lampu merah?

Cahaya adalah titik tolak. Cahaya adalah keberangkatan. Seperti sebuah pertunjukan, cahaya adalah dimulainya sebuah lakon. Dalam lakon realismus (: realisme), peristiwa tidak hanya diangkat ke dalam suatu pemanggugan, tetapi dihidupkan melalui pencahayaan yang berlapis-lapis. Dalam satu pertunjukan lakon realismus, puluhan lampu dibutuhkan dengan berbagai jenisnya. Pun demikian warnanya. Masing-masing memiliki fungsi dan peruntukan yang berbeda. Di antara fungsinya adalah pertama, menciptakan suasana. Cahaya menjadi unsur penting dalam mendukung spektakel, dialog, dan irama permainan, sehingga dapat ditangkap sebagai peristiwa yang senyatanya terjadi. Tak hanya suasana lingkungan alam maupun keadaan suatu peristiwa, cahaya juga dapat mendukung kondisi psikologis serta karakter aktor.